Description
Visited 335 times , 1 Visit today
Pemulihan ekonomi domestik 2022 menghadapi tantangan global yang menjalar ke domestik. Di tengah optimisme pengendalian kasus covid-19 yang menyeruak di awal tahun 2022, Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022. Dunia masih belum tahu kapan invasi tersebut akan berakhir. Akibatnya, invansi tersebut menyebabkan supply shock beberapa komoditas yang memicu kenaikan harga komoditas dan energi. Kenaikan tersebut sudah melebihi ekspektasi di tahun 2021 yang hanya menempatkan demand shock dari kenaikan permintaan akibat pemulihan kesehatan sebagai faktor dominan pendorong kenaikan harga. Pasca invasi Rusia ke Ukraina kenaikan harga komoditas dan energi tidak terbendung lagi.
Kenaikan harga komoditas dan energi di pasar dunia memiliki dampak positif dan sekaligus negatif bagi Indoneia. Sisi positifnya, Indonesia kecipratan kenaikan harga komoditas yang diekspor, kenaikan PNBP dan menguatkan cadangan devisa. Di sisi lain, kenaikan harga energi mengancam ketahanan fiskal 2022. Seperti diketahui, pemerintah menambah subsidi energi sekitar Rp79 triliun di APBN 2022 sebagai bentuk usaha untuk meredam kenaikan energi domestik, khususnya untuk kalangan menengah ke bawah. Kondisi ini tentu mengancam kesiapan fiskal pemerintah yang pada tahun 2023 harus sudah kembali ke angka defisit 3 persen dari PDB.
Selain persoalan harga, tantangan pemulihan ke depan juga tidak jauh dari kebijakan moneter Amerika Serikat. Seperti diketahui, pada 2022-2023, The Fed akan melakukan serangkaian kebijakan untuk menaikkan suku bunga acuannya. Tujuannya jelas: untuk mengendalikan inflasi di Amerika Serikat yang pada Mei 2022 mencapai angka 8 persen lebih, tertinggi sejak 1982. Kebijakan pengetatan moneter tersebut sudah dipastikan akan berdampak pada perekonomian negara-negara dunia, termasuk Indonesia berupa risiko pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Selain persoalan harga, tantangan pemulihan ke depan juga tidak jauh bagaimana memperbaiki rantai pasok. Konflik Rusia-Ukraina menyebabkan gangguan yang lebih besar pada GVC, memukul negara-negara berkembang dengan sangat keras. Arus barang dan modal mengalami stagnasi. Banyak pimpinan perusahaan menunda keputusan besar dalam berinvestasi di luar negeri. Alhasil, kondisi tersebut memicu ketegangan perdagangan yang didorong oleh tumbuhnya nasionalisme ekonomi dan proteksionisme yang menguji ketahanan rantai nilai global (global value chains/GVCs). Hal tersebut melahirkan prediksi bahwa pandemi akan mendorong restrukturisasi global value chain, memperpendek rantai pasokan, dan mengarah ke reshoring. Indonesia harus bersiap untuk segala kemungkinan.
Sehingga para pemikir, pemimpin negara dan perusahaan mulai berfikir mengenai konsep baru tentang kemandirian ekonomi. Yang pasti rantai pasokan sedang mengalami perubahan. Ada dua kemungkinan terkait tema dari arah baru ekonomi dunia: 1) keamanan pasokan, bukan efisiensi. Artinya, pemimpin negara dan perusahaan akan memprioritaskan berbisnis dengan pihak yang dapat diandalkan dalam jangka panjang; 2) Namun jika hal tersebut tidak dapat tercapai maka gelombang proteksionisme akan berbondong-bondong hadir. Artinya bisa jadi konsep kemandirian ekonomi baru memprioritaskan kepentingan dalam negeri.